Syafii Maarif: SBY Tak Arif, Yogya Sedang Ada Bencana Malah Ribut Soal Monarki?
JAKARTA (voa-islam) — Perdebatan soal sistem pemerintahan Yogyakarta yang digulirkan SBY pada saat Yogyakarta sedang ditimpa musibah, dinilai sebagai tindakan yang tak arif. SBY juga dituding buang-buang energi percuma dan tak paham sejarah.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, mengaku tak habis pikir dengan perdebatan soal sistem pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang digulirkan Presiden SBY. Pernyataan SBY pada saat Yogyakarta sedang ditimpa musibah itu dinilai sebagai tindakan yang menghabiskan-habiskan energi saja.
“Kalau terus membicarakan pro-kontra akan habis energi. Lagipula, di Yogya sedang ada bencana kok malah ribut soal monarki,” ucapnya di sela-sela penerimaan anugerah Habibie Award di Hotel Sahid, Selasa (30/11).
....Kalau terus membicarakan pro-kontra akan habis energi. Lagipula, di Yogya sedang ada bencana kok malah ribut soal monarki....
Buya, sapaan akrab Syafii Maarif, berpendapat bahwa kerajaan Sri Sultan hanya sebatas lingkup keraton saja. Di luar itu, lanjutnya, ia tak ubahnya seorang gubernur biasa yang bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
“Monarki bagaimana? Sultan kan kekuasaannya hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur, dia tetap perwakilan pemerintah pusat yang harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?” kata Buya.
Karenanya, Syafii menilai bahwa Presiden kurang arif dalam memunculkan wacana yang membuat publik resah ini.
Terhadap polemik itu, Syafii tidak membenarkan atau menyalahkan sistem penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY seperti yang berlangsung selama ini. Namun, perlu diingat sistem penetapan itu ada karena sejarah. Dalam hal ini, Syafii menilai SBY tak paham sejarah.
“Saya tidak bilang benar atau tidak, tapi sejarah bilang begitu. Bung Karno memberikan hak itu, karena jasa kraton besar sekali untuk pemerintahan bangsa. Ini harus dipertimbangkan, ada masalah sejarah, ada masalah psikologis,” ujar Syafii di sela-sela peringatan HUT ke-11 The Habibie Center, di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (30/11/2010).
“Apa presiden itu paham sejarah?” kata Syafii.
“Maksudnya Presiden SBY tidak paham sejarah?” tanya wartawan. “Ya wartawan yang nilai sendiri,” ucap guru besar Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Seperti diketahui, penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dituangkan dalam perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Bowono IX-Adipati Paku Alam VIII dengan Presiden RI Soekarno pada 5 September 1945. Hal itu yang kemudian menjadi bagian dari keistimewaan DIY sampai saat ini.
....wacana soal monarki di DIY ini bisa saja hanyalah sebuah pengalihan dari berbagai kasus yang tengah melilit negeri ini. Pemerintah seharusnya lebih menajamkan konsentrasi di kasus-kasus Century, IPO KS, atau mafia pajak, yang jelas telah merugikan negara....
Ia mengimbuhkan, wacana soal monarki di DIY ini bisa saja hanyalah sebuah pengalihan dari berbagai kasus yang tengah melilit negeri ini. Padahal, pemerintah seharusnya lebih menajamkan konsentrasi di kasus-kasus seperti Century, IPO KS, atau mafia pajak, yang jelas telah merugikan negara.
“Itu yang seharusnya dibongkar. Kenapa malah Yogya yang diungkit-ungkit?” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden SBY mengungkapkan tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konsitusi maupun nilai demokrasi.
Untuk itu pemerintah dalam penyusunan rancangan undang undang (RUU) tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) optimistis bisa menemukan satu kerangka yang bisa menghadirkan sistem nasional atau keutuhan NKRI dan keistimewaan Yogyakarta yang harus dihormati.
“Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” kata Presiden SBY dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (26/11/2010). [silum/dtk, mi]
Kamis, 02 Desember 2010
Label:
NEWS