DEPOK (voa-islam.com) – Pilihan untuk menganut sistem demokrasi atau monarki tak ubahnya berebut barang najis. Negara-negara di luar negeri yang menganut sistem monarki terbukti telah melahirkan kezaliman. Begitu juga dengan demokrasi yang dipilih negeri ini, selalu berujung dengan kehancuran. Sudah saatnya kita kembali pada Syariah Islam.
Hal itu dikatakan Ketua DPP HTI Abu Zaid dalam Diskusi Publik Refleksi Akhir tahun 2010: “Monarkhi VS Demokrasi Menurut Pandangan Islam” di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Depok, Ahad (26/12/2010). Hadir sebagai pembicara, pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy (pengamat Kebijakan Publok), dan Dr. Yosmardin (Dosen Institut Ilmu Pemerintahan).
Kondisi Indonesia ke depan, papar Abu Zaid, sepertinya tetap gelap dan akan kandas. Ibarat masuk ke lubang yang sama, kita akan terus mengulangi kesalahan hingga berkali-kali. Baik demokrasi maupun monarki tidak akan melakukan perubahan yang berarti. Bahkan bisa-bisa, anak-cucu kita tidak akan mengenal lagi Islam.
....Baik demokrasi maupun monarki tidak akan melakukan perubahan yang berarti. Bahkan bisa-bisa, anak-cucu kita tidak akan mengenal lagi Islam....
Abu Zaid tidak setuju dengan wacana menjadikan Jogyakarta sebagai embrio bagi tegaknya khilafah dan syariat Islam. Menurutnya, Islam tidak mengenal kekuasaan secara turun temurun. ”Saya tidak memahami Islam sebagai sistem monarki ataupun liberal. Islam itu punya visi, misi, strategi dan khalifah sendiri, sehinggga terwujud Islam yang rahmatan lil alamin,” tandasnya.
Sementara itu, Ichsanudin Noorsy mengkritisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu berapologi bahwa pemerintah tidak menganut sistem ekonomi neolib (neo liberal). Padahal siapapun presidennya, asal bukan neolib. “Ini bukan omong kosong. Penilaian itu pernah diucapkan oleh seorang Mar’ie Muhammad, bahwa Budiono itu seorang neolib, termasuk William Liddle, pengamat ekonomi asal Amerika Serikat,” ujar Ichsanudin Noorsy.
Neolib, lanjut Ichsanudin, sepertinya tidak akan berhenti. Sebagai contoh air saja sudah mulai dikuasai Yahudi. Water is money. Menurutnya, ini adalah bukti pemerintah Omdo alias omong doang, tidak bisa melindungi sumber daya alamnya. Bahasa agamanya munafik alias hipokrit. ”Tentu lebih berbahaya melawan hipokrit. Omongnya tidak bisa dipegang, baik politik maupun ekonomi,” ujar Ichsanudin Noorsy.
Di akhir 2010, Ichsanudin Noorsy menegaskan, Indonesia menuju jejak kekalahan perekonomian. Ada tesis yang mengatakan, trust making power, power making trust. Sekarang money making power, dan power making money. Inilah jurang kehancuran.
Kebijakan Amburadul
Pada kesempatan itu dosen Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Yosmardin menyoroti kondisi pemerintahan, baik eksekutif, legislative maupun yudikatif. Kondisi eksekutif sendiri, tidak ada upaya untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan. Kemudian, tidak ada peningkatan kesejahteraan masyarakat, ditambah angka kemiskinan semakin tinggi. Selanjutnya, masih meningkatnya potensi konflik dan ketidaktertiban dalam masyarakat. Begitu juga politik pencitraan pemerintahan yang dirasakan berlebihan.
Lebih jauh, Yosmardin juga mengkritisi pemerintah, seperti banyaknya aturan dan kebijakan pemerintah yang terlampau tumpang tindih. Tidak jelasnya agenda pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah bencana. Kemudian agenda pemerintah untuk mengatasi ledakan jumlah tenaga kerja, soal TKW dan TKI juga tidak jelas. Ironinya lagi, banyaknya pejabat pemerintah yang terkait kasus hukum.
....banyak aturan dan kebijakan pemerintah yang tumpang tindih. Agenda pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah bencana, TKW dan TKI juga tidak jelas. Ironinya lagi, banyaknya pejabat pemerintah yang terkait kasus hukum....
Mengenai kondisi legislatif sendiri, Yosmardin menilai tugas-tugas pembuatan undang-undang masih terlantar. Tugas-tugas pengawasan yang berjalan pun tidak begitu efektif. Apalagi tugas-tugas penganggaran masih terkesan bertele-tele. Termasuk banyaknya persoalan anggota legislatif yang terlibat kasus hukum dan etika.
Adapun kondisi yudikatif, Yosmardini menyayangkan mafia hukum yang masih menguasai proses peradilan. Ketidakpastian hukum dan proses hukum yang tidak transparan, ditambah KKN antar lembaga hukum, sehingga putusan hukum dapat dinegosiasikan.
“Dampak dari itu semua, maka terjadi delegitimasi pemerintahan, ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah meningkat, jurang yang sangat lebar antara pemerintah dengan masyarakat,” ungkap Yosmardin. [taz/Desastian]
Selasa, 28 Desember 2010
Polemik Demokrasi dan Monarki Seperti Berebut Barang Najis
Label:
NEWS