Astagfirullah!! Al Qur'an Dihujat dan Dianggap Sumber Aliran Keras
Jakarta (voa-islam.com) - Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar, mengatakan terjemahan dan tafsir Al-Quran versi baru merupakan program khusus untuk upaya deradikalisasi.
Nasaruddin mengatakan, Kementerian Agama menyusun terjemahan dan tafsir versi baru ini untuk memberi pemahaman atas arti ayat-ayat Al-Quran. “Terjemahan Al-Quran berpotensi mengajak orang beraliran keras,” kata dia dalam simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta kemarin.
...“Terjemahan Al-Quran berpotensi mengajak orang beraliran keras,” kata Nasruddin...
Menurut dia, potensi itu ada karena sedikitnya kosakata bahasa Indonesia. “Misalnya, kata 'cinta' dalam bahasa Indonesia hanya satu, padahal dalam Al-Quran ada 14 kata yang menyatakan 'cinta' dalam berbagai tingkatan,” tuturnya.
Nasaruddin mencontohkan Surat Al-Baqarah ayat 191, yang menyebutkan “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka ...”. “Ayat ini berpotensi disalahpahami,” ujar Nasaruddin. Menurut dia, dalam terjemahan Al-Quran versi baru, hal itu lebih moderat.
Namun dia mengatakan terjemahan dan tafsir Al-Quran versi baru ini jangan dikonotasikan merupakan produk dominasi negara. “Bahaya, karena nanti akan timbul resistensi,” ujarnya. Ia juga menyebutkan resistensi sudah muncul dari beberapa organisasi masyarakat.
Dia mengatakan, terjemahan dan tafsir Al-Quran versi baru ini bukan versi negara. “Ini produk bersama dengan masyarakat,” kata dia. (tempointeraktif.com)
Waspadai Proyek Desakralisasi Al Qur'an
Bagi kaum muslimin yang menggeluti study pemikiran Islam akan segera menangkap gelagat pemikirian di atas. Ya, benar! pemikiran diatas tak ubahnya pemikiran latah para pemikir liberal untuk mendesakralisasikan Al-Quran.
Proyek ”desakralisasi Al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian Al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa Al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci.
Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan Al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa Al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa.
Termasuk terjemahan bahasa Indonesia yang miskin sehingga harus diterjemah ulang sampai menganggap bahwa Al Quran adalah sumber radikalisme dalam Islam. Astagfirullah. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.
Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia.
Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”
Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi Al-Quran”, bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci?
Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran Al-Quran, di luar ilmu Tafsir Al-Quran.
Dengan meletakkan posisi Al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman Al-Quran yang baru, seperti hermeneutika. Al Qur'an produk bersama? liberal? Naudzubillah min dzalik. (Ibnudzar/dbs)