AYO DUKUNG PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BUMI INDONESIA TERCINTA

Senin, 30 Agustus 2010

Membayarkan Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Membayarkan puasa (mempuasakan) orang yang sudah meninggal dunia -dikarenakan saat sebelum meninggal dia meninggalkan puasa beberapa hari- menjadi masalah yang sering diperdebatkan di tengah-tengah masyarakat. Jawaban yang pasti dan jelas menjadi tuntutan agar umat bisa mengambil sikap berdasarkan hujjah yang kuat.

Berikut ini kami suguhkan sebuah fatwa dari Syaikh Abdul Rahman al-Sahim dalam mejawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada beliau.

Pertanyaahn: Ada seseorang yang sudah meninggal dan masih memiliki hutang puasa. Apakah berpuasanya boleh digantikan oleh seseorang? Apabila tidak boleh, berapa uang yang harus dibayarkan untuk menebus puasanya?

Beliau menjawab, Dalam masalah ini perlu ada perincian. Jika puasanya adalah puasa nadzar atau kafarah, maka boleh dibayarkan puasanya oleh yang lain berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya menggantikan puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radliyallaahu 'anha)

Dan puasa itu diikat dengan puasa nadzar, menurut Jumhur ulama. Dan seperti itu pula fatwa dari para sahabat radliyallaahu 'anhum. Sebagaimana terdapat keterangan dari Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhuma yang membedakan antara puasa qadla’ dengan puasa nadzar. Puasa kafarat juga masuk di dalamnya, karena termasuk pausa yang pada dasarnya tidak wajib.

Adapun jika puasa itu adalah puasa Ramadlan, terdapat perincian yang lain: Jika seseorang mendapati masa tertentu yang mampu untuk berpuasa di dalamnya, dan tidak berpuasa, maka dikeluarkan kafarat atasnya berupa memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Dan kadarnya setengah sha’ dari makanan. Dan apabila orang-orang miskin diundang lalu diberi makan sesuai dengan hari-hari yang menjadi tanggungan mayit, maka boleh dan mencukupi.

Misalnya dia memiliki hutang puasa 10 hari kemudian ia membeli makanan yang cukup untuk sepuluh orang miskin, lalu mereka diberi makan semuanya, maka itu juga sudah mencukupi.

Namun apabila seseorang tidak mendapati satu haripun sesudah Ramadlan yang memungkinkannya untuk mengqadla’ puasanya, maka tidak ada tuntutan apapun atasnya dan tidak pula atas walinya (ahli warisnya), karena dia tidak melalaikan.

Misalnya: seseorang sakit pada bulan Ramadlan dan tidak berpuasa sepuluh hari, kemudian sakitnya berlanjut hingga dia meninggal dunia. Dia tidak mungkin melaksanakan qadla’, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya. Wallahu a’alam.

(PurWD/voa-islam.com)

* Dialihbahasakan oleh Badrul Tamam