AYO DUKUNG PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BUMI INDONESIA TERCINTA

Sabtu, 20 November 2010

Taushiah Idul Adha Ba'asyir: Hidup untuk Berjuang Menegakkan Islam, di Luar Itu Tidak!

JAKARTA (voa-islam.com) – Jasad boleh dibelenggu, mental boleh diteror. Semangat jihad dan pemikiran kritis Abu Bakar Ba’asyir tak bisa dikekang sedikitpun, meski ustadz sepuh ini telah meringkuk di penjara selama tiga bulan, sejak ditangkap Densus 88, Senin pagi (9/8/2010) ketika sedang dalam perjalanan dakwah di Banjar Patoman, Ciamis, Jawa Barat.

Tepat pada hari raya Idul Adha, Selasa 16 November 2010 saat dibezuk di sel Bareskrim Mabes Polri, Amir Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) ini masih tegar memberikan taushiahnya kepada umat Islam. Tak nampak kesedihan di raut wajah ulama yang sudah berusia 73 tahun ini, meski terali besi memisahkan dirinya dari keluarga tercinta dalam suasana lebaran. Pemikirannya masih tajam mengkritisi berbagai persoalan dan kemaslahatan umat di negeri ini. Inilah petikan taushiah Idul Adha Ustadz Abu yang dikaitkan perjuangan menegakkan Islam:

Idul Qurban, qurban di sini dalam bahasa Arab asalnya (قَرُبَ) “qo-ru-ba” artinya mendekat. Pelajaran dari Idul Qurban adalah untuk menguji kebenaran iman. Kebenaran iman itu harus dibuktikan dan siap untuk berkorban.

Ujian yang pertama, ketika Nabi Ibrahim dikaruniai seorang anak, yaitu Ismail, ia diperintahkan pergi bersama istrinya, Hajar dan anaknya.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati…” (Qs. Ibrahim 37).

Menurut logika akal, anak dan ibunya ini pasti akan mati, karena tidak ada tumbuh-tumbuhan maupun air – di daerah tandus yang sekarang jadi Masjidil Haram. Itulah ujian iman. Kalau menuruti akal saja, Nabi Ibrahim pasti tidak akan mau melaksanakan perintah itu. Tapi karena imannya Nabi Ibrahim itu di atas segala-galanya, maka di letakkan betul anak dan istrinya di sana.

Memang ada kesulitan, sampai Hajar berlari-lari dari Shafa ke Marwah, hingga muncullah sumur Zam-Zam. Semua itu adalah ujian. Jadi iman itu harus dibuktikan dengan ketaatan meski perintah itu sepertinya berbahaya.

....iman itu harus dibuktikan dengan ketaatan meski perintah itu sepertinya berbahaya....

Ujian yang kedua, diabadikan dalam surat As-Shaffat ayat 102:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”


Nabi Ibrahim yang mempunyai anak yang begitu baik sangat disayanginya. Tetapi setelah dia dewasa, sudah bisa membantunya kerja dan akhlaknya baik, tiba-tiba ada lagi wahyu lewat mimpi:

"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu maka pikirkanlah apa pendapatmu!”

Nabi Ibrahim mendapat wahyu lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Bayangkan, orang yang sudah tua, baru punya anak satu yang begitu menyenangkan hati, malah diperintahkan untuk menyembelih. Maka disampaikanlah wahyu itu kepada anaknya:

"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!".

Ternyata iman Nabi Ismail itu sama hebat dengan iman ayahnya. Tanpa banyak cakap ia menjawab:

"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Ujian dari Allah itu kalau dipikir pakai akal bisa membuat stress. Allah cuma mau menguji mau taat atau tidak, itu saja! Jadi, hikmah Idul Adha adalah ujian ketaatan, dan prinsip iman itu ada pada ketaatan.

....Ujian dari Allah itu kalau dipikir pakai akal bisa membuat stress. Allah cuma mau menguji mau taat atau tidak, itu saja!....

Kemudian ujian tersebut dilaksanakan betul oleh ayah dan anak yang sama-sama taat dan beriman, Ibrahim dan Ismail alaihissalam:

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya)” (Qs. As-Shaffat 103).

Setelah dicelentangkan mau disembelih, lalu diganti oleh Allah dengan seekor kambing.

Seterusnya, dalam ayat selanjutnya itu Allah menyatakan bahwa itu adalah ujian yang nyata.

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (As-Shaffat 106).

Itulah iman, yang dalam surat Al-’Ankabut ayat 2-3 Allah berfirman:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Kalau dengan mulut semua orang bisa mengaku beriman. Tetapi ketika ada perintah Allah, mau taat atau tidak? Itu persoalannya.

....dengan mulut semua orang bisa mengaku beriman. Tetapi ketika ada perintah Allah, mau taat atau tidak? Itu persoalannya....

Jadi, titik berat Idul Adha adalah iman, untuk mengajarkan iman yang benar itu harus dibuktikan dengan ketaatan. Sami’na wa atha’na tidak boleh dibahas atau dicocok-cocokan, kita hanya diberi kelonggaran menurut kemampuan.

Sebab orang beriman itu modalnya percaya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu mutlak, pokoknya apapun yang berasal dari Allah dan Rasul itu benar, titik! Apakah akal bisa memahami maslahatnya atau tidak, pokoknya dari Allah dan Rasul itu paling benar, paling ilmiah, paling modern, titik! Sikap yang seperti ini namanya mukmin. Tetapi oleh orang-orang kafir, sikap yang seperti ini dituding ekstremis dan fundamentalis. Tapi memang begitulah, iman itu harus begitu.

Maka dalam ayat yang lain Allah berfirman:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs. An-Nur 51).

Sikap seorang mukmin bila mendengar perintah Allah adalah “Kami dengar lalu kami taati (sami’na wa atha’na). Bukan “kami dengar lalu kami koreksi,” karena ini perilaku syaitan yang takabur, tak ubahnya iblis yang tidak mau sujud karena mengoreksi perintahnya Allah: “Wong saya dari api dan dia dari tanah ya Allah kok saya yang suruh sujud” (surat Al-A’raf 12 & Shad 76). Itu kan mengoreksi namanya, maka iblis diusir dan dilaknat sampai hari kiamat karena akabur.

Jadi, Idul Adha itu prinsipnya mengajarkan tentang iman yang benar, yang dibuktikan dengan ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya menurut kemampuan, tidak boleh dibantah dan tidak boleh dikoreksi.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Qs. Al-Hujurat 15).

Keterkaitannya dengan perjuangan, dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa karakter orang beriman itu ada dua:

Pertama, imannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah didasari yakin sehingga menimbulkan taat mutlak. Nah karakter semacam ini menimbulkan karakter yang kedua yaitu berjihad dengan harta dan jiwa fisabilillah "وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ."

“…Dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah...”

Hidupnya itu hanya untuk berjuang menegakkan Islam dengan harta dan nyawa. Berjuang dengan sistem perang, berjuang dengan sistem dakwah, dan berjuang dengan harta masing-masing menurut kemampuan.

....hidup orang beriman itu untuk berjuang menegakkan Islam, di luar itu tidak!....

Dengan kata lain, hidup orang beriman itu untuk berjuang menegakkan Islam, di luar itu tidak! Nah kalau sudah dua karakter ini ada baru ditutup ayat “أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ” (Mereka itulah orang-orang yang benar). Itulah relevansi Idul Adha dengan perjuangan. [taz/wid]