Pemberitaan TV Berlebihan dan Resahkan Pengungsi, Relawan Surati KPI
Yogyakarta (voa-islam.com) - Jaringan relawan di Yogyakarta mengirimkan surat terbuka kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mereka keberatan dengan berita televisi mengenai bencana Gunung Merapi yang dinilai berlebih-lebihan sehingga menambah resah para pengungsi.
"Bahwa saat ini keadaan bertambah tidak kondusif. Relawan yang ada di posko, yang notabene berhadapan langsung dengan warga, kini merasa kewalahan. Para relawan kesusahan menenangkan warga yang panik dan ingin pergi dari barak pengungsian ke tempat yang lebih aman," kata seorang relawan, Aryo Bilowo, Minggu (17/11/2010).
Menurut Aryo, banyak kejadian dalam 10 hari letusan Gunung Merapi di perbatasan Yogyakarta-Jawa Tengah yang diberitakan secara tidak sahih oleh televisi. Mereka cenderung mendramatisasi keadaan, sehingga membuat warga semakin panik.
Contohnya, Aryo menyebut berita di salah satu stasiun TV swasta pada tanggal 29 atau 30 Oktober 2010. Wartawan televisi itu melaporkan awan panas telah mencapai Jl Kaliurang Km 6,2 atau hampir 25 km dari puncak Merapi. Belakangan diketahui, bahwa yang mencapai lokasi tersebut adalah hujan abu, bukan awan panas.
...Para relawan kesusahan menenangkan warga yang panik dan ingin pergi dari barak pengungsian ke tempat yang lebih aman," kata seorang relawan, Aryo Bilowo...
Lalu, pada tanggal 4 November, stasiun TV yang lain melaporkan adanya korban meninggal karena lahar panas. Setelah dicek, korban meninggal bukan karena lahar panas, melainkan terkena awan panas. Namun, wartawan televisi itu tetap bersikukuh dengan liputannya.
"Selain hal tersebut, pengulangan berita, stok gambar, running text dan sebagainya tidak menyertakan waktu, seolah-oleh semua kondisi terkini, bikin tambah parah," katanya.
Aryo menilai, beberapa tayangan pemberitaan yang keliru itu telah melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Disebutkan dalam pasal 3 KEJ, bahwa "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."
Peliputan yang tidak sesuai fakta, lanjutnya juga melanggar melanggar P3 SPS, Peraturan KPI No.02/P/KPI/12/2009. Pasal 18 peraturan KPI menyatakan tentang prinsip-prinsip jurnalistik, yakni tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, tidak membuat berita bohong, fitnah atau cabul.
Sementara pasal 34 menyebutkan adanya 3 ketentuan tentang peliputan bencana alam. Yaitu, melakukan peliputan harus mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya, tidak menambah penderitaan atau trauma korban bencana, dan gambar korban, penderitaan harus sesuai dengan konteks mendukung tayangan.
"Bahwa pada dasarnya media, terutama TV, saat ini menjadi media informasi utama yang dapat diakses masyarakat, sehingga jika terjadi kesalahan informasi, selayaknya segera dilakukan ralat/koreksi, agar tidak menimbulkan kepanikan warga," kata Aryo.
Bersama surat terbukanya ini, Aryo meminta KPI menertibkan secara tegas fungsi keberadaa media di lokasi bencana. Hal itu juga diperlukan agar para relawan yang di lapangan dapat bekerja dengan maksimal.
"Perlu ditertibkan secara tegas fungsi keberadaan media di lokasi bencana, terutama yang melanggar P3 SPS Peraturan KPI No.02/P/KPI/12/2009," pintanya. (Ibnudzar/dto)
Senin, 08 November 2010
Label:
NEWS