AYO DUKUNG PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BUMI INDONESIA TERCINTA

Minggu, 03 Oktober 2010

ORANG ISLAM DIBUNUH, QURANNYA DIBAKAR

Amerika Serikat jadi teladan dalam demokrasi dan kebebasan beragama. Mau tahu apa yang terjadi di sana? Baca tulisan di bawah ini.
Supir taksi Ahmed Sharif, 43 tahun, warga Amerika keturunan Bangladesh, betul-betul tak menaruh curiga pada penumpang itu, seorang pemuda kulit putih. Pemuda ini menyetop taksinya di kawasan Second Avenue, Manhanttan, New York, Selasa sore, 24 Agustus lalu.

Maka dengan polos Sharif mengaku sebagai Muslim saat pemuda itu menanyakan agama dan negara asalnya. Sharif pun mengucapkan salam, ‘’Assalamualaikum’’, mengikuti permintaan sang penumpang.

Tiba-tiba pemuda kulit putih itu berteriak, ‘’Consider this a checkpoint (ini pos pemeriksaan),’’sergahnya menirukan gaya tentara Amerika saat memeriksa orang di pos pemeriksaan (checkpoint) di Afghanistan.

Lalu dari sela-sela pembatas transparan yang memisahkan supir dengan penumpang sebagaimana biasanya taksi di New York, pemuda kulit putih itu menusuk Sharif berkali-kali dengan sebilah pisau. Tusukan itu mengenai leher, wajah, bahu, dan tangannya. ‘’Kalau saja tusukan itu lebih dalam, dia sudah mati dalam peristiwa ini,’’ kata James Zaleta, Pembantu Jaksa Distrik Manhattan.

Sembari menangkis atau mengelakkan tusukan pisau Sharif memberhentikan taksinya di dekat pos polisi di Third Avenue. Dia keluar sembari mengunci pintu taksi menyebabkan penumpangnya terkunci di dalam mobil. Sharif segera melapor dan polisi dengan cepat menangkap si penumpang yang ternyata bernama Michael Enright, 21 tahun, penduduk New York, sebagaimana halnya Sharif.

Polisi menahan Enright dan mengirimkannya ke sebuah rumah sakit untuk pemeriksaan psikiater. ‘’Ini serangan yang sangat jahat kepada orang tak berdosa, hanya karena agamanya,’’ kata Zaleta kepada wartawan. Bila semua yang dituduhkan terbukti, Enright menghadapi ancaman hukuman 8 sampai 25 tahun.

Enright belum lama pulang dari Afghanistan guna membuat film. Ia bekerja sebagai relawan di sebuah LSM di Manhattan yang – tragisnya – justru aktif mempromosikan perdamaian antar-agama.

Peristiwa seperti ini, kata Walikota New York, Michael Bloomberg, jelas bermotif prasangka anti-Muslim. ‘’Saya tegaskan bahwa prasangka etnis atau agama tak ada tempatnya di kota kita,’’ katanya ketika mengundang Ahmed Sharif untuk menemuinya di Balai Kota New York, 27 Agustus lalu.

Tapi siapa pun tahu sekarang New York, bahkan Amerika Serikat, bukanlah tempat yang nyaman bagi orang Islam atau Muslim. Negeri yang selama ini membanggakan diri sebagai kampiun demokrasi dan contoh dalam kehidupan dan kebebasan beragama, sekarang harus malu atas apa yang sedang terjadi di sana.

Di sinilah terjadi orang mau dibunuh hanya karena beragama Islam – sebagaimana dialami Ahmed Sharif. Di berbagai negara bagian membangun masjid, sekali pun sudah mengikuti segala ketentuan, bukan main sulitnya. Bahkan masjid atau Islamic center yang telah ada sering terbukti tak aman. Ada Islamic center yang dibakar, masjid dirusak atau diledakkan bom.


Di sinilah jemaah yang sedang shalat Jumat diusir dengan mengerahkan sejumlah anjing galak, atau didemo dengan makian kasar dan menghina. Puncak dari semua sikap kebencian kepada Islam (Islamophobia) itu agaknya adalah heboh yang kini melanda Amerika Serikat karena gerakan anti-pembangunan Cordoba House di Manhattan.

Feisal Abdul Rauf, 62 tahun, sekarang jadi sasaran caci-maki. Warga Amerika berdarah Kuwait inilah pemimpin Cordoba Initiative , bersama istrinya, Daisy Khan, dan pengusaha real estate Sharif al-Gamal. Merekalah yang punya ide membangun Cordoba House.

Itulah pusat komunitas Islam – berupa gedung 13 lantai -- yang direncanakan terdiri dari masjid dengan 2000-an jemaah, pusat kesenian (performing arts center) berkapasitas 500 pengunjung, restauran, lapangan basket, kolam renang, pusat kebugaran (fitness center), sekolah, toko buku, dan berbagai aktivitas lain. Biaya pembangunannya ditaksir 100 juta dollar (sekitar Rp 900 milyar). Cukup besar, apalagi untuk ukuran Indonesia.

GELOMBANG ISLAMOPHOBIA
Pusat komunitas itu akan berdiri di bekas bangunan gudang di Park Place (biasa disebut Park 51), yang mereka beli senilai hampir 5 juta dollar. Semua izin sudah diperoleh. Walikota New York Michael Bloomberg sejak awal mendukung rencana ini.

Areal itu terpaut dua blok dari Ground Zero, tempat berdirinya dulu menara kembar World Trade Center (WTC). Kini WTC tinggal nama setelah dirubuhkan serangan kelompok teroris pimpinan Usamah Bin Laden, 11 September 2001.
Cordoba Initiative tentu saja tak ada hubungan dengan Usamah, putra konglomerat Arab Saudi yang kini jadi buron nomor satu Amerika Serikat.


Tapi lokasi Cordoba House dekat Ground Zero, dijadikan alasan oleh sejumlah tokoh konservatif dan Kristen ekstrem untuk menantang pembangunan pusat komunitas itu. Tokoh-tokoh politik dari Partai Republik yang beroposisi bersama organisasi kemasyarakatan pendukungnya Tea Party, tampaknya memanfaatkan situasi demi keuntungan politik.

Maklumlah November ini, Pemilu sela akan berlangsung guna memilih sepertiga jumlah Senator, seluruh anggota DPR, dan sejumlah Gubernur. Partai Republik yang minoritas di Senat mau pun DPR tampaknya ingin membalikkan keadaan. Dan itu mereka lakukan dengan menunggangi kontroversi pembangunan masjid di Ground Zero.

Sebenarnya di Manhattan selama ini sudah ada setidaknya 2 masjid. Salah satu adalah Masjid Manhattan berdiri tahun 1970 di Warren Street atau kira-kira 4 blok dari Ground Zero. Yang satu lagi berdiri 1985, Masjid al-Farah di West Broadway sekitar 12 blok terpaut dari Ground Zero.

Feisal Abdul Rauf sejak lama menjadi imam di Masjid al-Farah sampai belakangan ia sibuk di Cordoba Initiative. Ide mendirikan masjid baru karena kedua masjid tadi sudah terlalu kecil oleh bertambahnya jumlah jemaah.
Tapi yang jelas, serangan kelompok kontra pembangunan Cordoba House segera bergaung ke seantero negeri dalam bentuk gelombang kebencian kepada Islam (Islamophobia) dan menyebabkan kaum Muslim Amerika Serikat tambah terancam saja.

Mereka adalah warga negara Amerika Serikat – harus ikut berperang ke Iraq atau Afghanistan – tapi karena agamanya (Islam) mereka diperlakukan berbeda. Mereka didiskriminasikan. Malah sejumlah tokoh Partai Republik ikut menghasut masyarakat untuk memusuhi mereka (hate-mongering), karena rencana pembangunan masjid di Ground Zero.

Sejumlah bus kota di New York kini berkeliling dengan iklan menempel di dindingnya, menggambarkan sebuah pesawat terbang sedang menukik menuju menara World Trade Center yang diberi nama ‘’Mega Mosque’’ -- masjid mega. Lalu ada pertanyaan: ‘’Why there?’’. Mengapa di sana?

Iklan itu jelas mengaitkan serangan teroris 11 September dengan pembangunan masjid, dipesan kelompok penentang Cordoba House yang menamakan diri American Freedom Defence Initiative.

Azeem Khan dari The Islamic Circle of North America, mengatakan iklan itu hanya untuk menyebarkan ketakutan dan kebencian pada kaum Muslim Amerika Serikat. ‘’Mereka ingin Islam dan kaum Muslim jadi hantu sekarang,’’ katanya seperti ditulis koran online Inggris, guardian.co.uk, 12 Agustus lalu.

Presiden Barack Obama berusaha mengubah keadaan dengan menyatakan dukungan tegas secara terbuka atas pembangunan masjid itu. Kata Obama, ummat Islam memiliki hak yang sama untuk mempraktekkan agamanya sebagaimana warga lainnya . ‘’Itu termasuk hak membangun rumah ibadah dan pusat komunitas di Lower Manhattan. Ini Amerika. Komitmen kita kepada kebebasan beragama tak bisa digoyahkan,’’ kata Obama dalam acara buka puasa bersama (iftar) di Gedung Putih, pertengahan Agustus.

Apa pun kata Obama tapi yang jelas membangun masjid tak gampang di Amerika Serikat. Terbukti setelah dukungannya itu, Obama malah dicurigai sebagai pemeluk Islam. Survei oleh Pew Research Center kemudian menunjukkan meningkatnya jumlah orang Amerika yang percaya – kini satu di antara lima orang Amerika – bahwa Obama seorang Islam. Gedung Putih pun sibuk membantahnya sekalian menegaskan Obama seorang Kristen yang mempraktekkan ajaran Kristen.

Sesungguhnya bukan hanya Cordoba House yang bermasalah tapi juga sejumlah masjid atau Islamic center di tempat lain. Tantangan selalu muncul dari kelompok sayap kanan, apakah karena fanatisme agama Kristen atau kepentingan politik para tokoh Partai Republik yang konservatif.

Di Murfreesboro, kota berpenduduk 100.000 jiwa di Tennessee, rencana pembangunan Islamic center di lokasi seluas 15 acre mendapat tentangan keras dari kelompok ekstrem Kristen pendukung Partai Republik. Mereka menuduh kompleks itu akan jadi tempat pelatihan teroris guna menjatuhkan pemerintahan Amerika Serikat dan memberlakukan syariat Islam.

‘’Itu bukan agama. Mereka adalah grup militer politis,’’ kata Bob Shelton, 76 tahun, pensiunan yang tinggal di dekat areal itu, seperti disiarkan kantor berita Associated Press, 9 Agustus lalu.

Shelton adalah satu dari ratusan demonstran yang memperotes pembangunan Islamic center itu. Banyak di antara mereka memakai baju oblong dengan tulisan ‘’Vote for Jesus’’, sembari membawa poster ‘’No Sharia law for USA’’ (Tak ada hukum syariah untuk Amerika Serikat). Akibat demo-demo itu penduduk muslim setempat terpaksa minta perlindungan polisi untuk beribadah di masjid.


Tapi tak ada berita di koran atau televisi yang memprovokasi publik bahwa sekelompok orang muslim dihalangi beribadah oleh masyarakat setempat, sebagaimana yang terjadi di sini dalam kasus pengikut HKBP di Bekasi itu.

PENDETA ITU MENENTENG PISTOL
Beberapa bulan sebelumnya, di Temecula, selatan California, kelompok Tea Party membawa sejumlah anjing galak untuk menghadang umat Islam setempat yang sedang melaksanakan shalat Jumat. Mereka melakukannya sebagai protes atas rencana pembangunan masjid baru di situ.

Beberapa peristiwa mirip terjadi di berbagai daerah lain seperti di Texas atau Wisconsin. Di Sheboygan, Wisconsin, sejumlah pendeta terlibat polemik seru dengan kelompok muslim yang ingin membuka sebuah masjid. Dulunya masjid itu adalah toko makanan kesehatan, lalu dibeli seorang dokter yang muslim karena ingin menjadikannya masjid.

Di Texas, jemaah Masjid An-Noor nyaris baku hantam dengan sekelompok orang yang menamakan diri ‘’Operation Save America’’ (operasi selamatkan Amerika) yang tiba-tiba mengepung masjid sembari berteriak-teriak menyemburkan kalimat-kalimat penuh kebencian.

Masih di Texas, di Kota Arlington, kompleks Dar El Eman Islamic Center akhir Juli lalu dirusak dan dibakar orang tak dikenal. Kerusakan cukup parah di bagian permainan anak-anak (play ground). Sampai sekarang polisi belum berhasil menangkap orang yang bertanggung jawab atas tindak anarkis ini.

Di Islamic Center Jacksonville, Florida, awal Mei lalu, sebuah bom pipa meledak. Tak ada korban. Tapi peristiwa itu sangat menakutkan para jemaah masjid. Polisi setempat menyebut peristiwa itu sebagai terorisme lokal.

Di selatan Miami, sebuah masjid dan sekolah Islam telah dua kali dirusak orang tahun lalu. Perusakan pertama dengan cara memberondong sekolah dan masjid itu dengan tembakan 51 peluru.

Yang paling gila adalah program yang direncanakan sebuah gereja di Gainesville, Florida, dipimpin Pendeta Terry Jones, 58 tahun, bekas manajer hotel yang sekarang kemana-mana menenteng pistol (lihat The New York Times, 25 Agustus 2010).

Mereka akan mengadakan pembakaran kitab suci Al-Quran di gereja itu pada 11 September 2010, melalui sebuah upacara yang mereka juluki ‘’The International Burn A Quran Day’’ (Hari pembakaran Quran internasional). Upacara itu dimaksudkan untuk memperingati serangan teroris ke WTC, 11 September 2001.
Berbagai persiapan telah dilakukan gereja miik The Dove World Outreach Center itu. Antara lain dengan membuat facebook yang memuat berbagai alasan pembenaran rencana mereka.

Sebelumnya, tahun lalu, Pendeta Terry Jones menulis buku berjudul Islam is of the devil (Islam dari Setan). Isinya sudah bisa ditebak: hujatan terhadap Islam dan muslim.

Anehnya kepada wartawan The New York Times yang mewawancarainya pendeta ini mengaku sama sekali tak mengerti Al-Quran. ‘’Saya cuma tahu apa yang dibilang Bible,’’ katanya.

Bagaimana ia bisa menulis buku tentang Islam, memaki-maki Quran yang dituduhnya penuh kebohongan, atau bahkan bikin rencana upacara bakar Quran yang sudah menggegerkan dunia, itu soal lain lagi. ‘’Tujuan semua protes ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada muslim untuk bertobat,’’ kata Pendeta Jones (Huffington Post, 28 Juli 2010). Jika tak ada perubahan maka upacara pembakaran Al-Quran itu bertepatan dengan perayaan Idul Fitri.


Sebelum ribut-ribut pembangunan Islamic center di Ground Zero, sebetulnya kebencian terhadap Islam sudah bersemayam. Perusakan masjid sering terjadi. Sekadar contoh, Maret lalu, hakim menjatuhkan hukuman 183 bulan penjara (15 tahun lebih) kepada Eric Ian Baker, 34 tahun, karena bersalah membakar masjid di Islamic Center of Columbia di Tennessee. Baker bersama dua temannya, Februari 2008, membakar masjid tadi dengan bom Molotov.

IMIGRAN CHINA DAN NABI MORMON
Ditaksir penduduk muslim di Amerika Serikat sekarang hampir 5 juta. Tapi Islam di sana termasuk agama yang sedang tumbuh. Sekitar 10 tahun lalu, jumlah masjid di negeri itu hanya 1200. Sekarang, seperti dikatakan Profesor Ihsan Bagby, ahli studi Islam di University of Kentucky, sudah tumbuh menjadi 1900 masjid. Termasuk di dalamnya sejumlah Islamic center – seperti di New York, California, atau Tennessee – yang dapat menampung jumlah jemaah lebih banyak.

Bila dilihat sejarah, bukan hanya Islam atau muslim yang mengalami penolakan di Amerika Serikat. Di tahun 1800-an, muncul agama Mormon (sekarang gerejanya bernama the Church of Jesus Christ of Later-Day Saints) dengan Joseph Smith sebagai nabi.

Apa yang terjadi? Kelompok agama baru ini diburu dan nabinya ditangkap. Belum cukup. Pada 27 Juni 1844, ratusan massa menyerbu penjara di Missouri membunuh Joseph Smith dan pembantunya.

Penolakan juga terjadi ketika agama Katolik masuk dan berkembang di Amerika Serikat. Terjadi berbagai konflik dan kerusuhan. Mereka mengalami diskriminasi . Sejarah Amerika Serikat juga dikotori pembunuhan dan pengusiran imigran China.

Bila diamati apa yang terjadi di Amerika Serikat maka kita di Indonesia ternyata jauh lebih menghargai kelompok mintoritas. Meski terjadi pertentangan keras dengan kelompok Ahmadiah, tapi belum satu pun tokoh Ahmadiah yang dibunuh (di dalam penjara lagi) seperti yang terjadi pada pemimpin kelompok Mormon di Amerika Serikat. Di negeri asalnya, Pakistan, juga kelompok Ahmadiyah sudah beberapa kali mengalami pengusiran dan pembunuhan.

Hal lain, pemerintah memberlakukan hari libur pada semua hari besar agama, tak terbatas hari besar agama mayoritas seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa atau Australia. Dan umat Islam Indonesia sebagai mayoritas dapat menerimanya dengan ikhlas.

Kembali cerita masjid di Gound Zero. Kini Feisal Abdul Rauf dituduh sebagai ulama ekstrem, bahkan pendukung terorisme. Kelemahannya mulai dicari-cari. Misalnya, sekarang dipersoalkan ceramah Feisal Abdul Rauf pada 2004 di Masjid al-Farah, Manhattan.

Ketika itu Feisal mengatakan, dalam peperangan Islam tak membunuh orang-orang sipil tak berdosa. ‘’Adalah orang Kristen di dalam Perang Dunia II yang mengebom orang sipil tak berdosa di Dresden (Jerman) dan Hiroshima (Jepang), sekali pun kedua daerah itu bukan sasaran militer,’’ katanya.
Belum sebulan terjadi peristiwa serangan 11 September, Feisal diwawancara dalam acara TV, CBS’s 60 Minutes. Ketika itu ia mengatakan pimpinan teroris Usamah Bin Laden adalah buatan Amerika Serikat (‘’Osama Bin Laden is made in the USA’’).

AMERIKA JADI KEKUATAN DOMINAN
Memang sampai sekarang belum satu pun tuduhan kepada ulama sufi ini bisa dibuktikan. Apalagi berbagai pernyataannya tadi sebenarnya adalah fakta. ‘’Usama made in USA’’, misalnya, bisa dibaca di berbagai buku yang sudah terbit selama ini.

Antara lain, Good Muslim, Bad Muslim, America, the Cold War, and the Roots of Terror (Three Leaves Press, Doubleday, New York 2005) yang ditulis Profesor Mahmood Mamdani, Direktur Studi Afrika Columbia University, New York. Atau bisa dilihat buku House of Bush, House of Saud (Scribner 2004) yang ditulis wartawan Crigh Unger.

Di kedua buku itu diungkapkan bahwa Usamah Bin Laden dan kawan-kawan Mujahidin-nya berjuang di Afghanistan mengusir tentara pendudukan Uni Soviet di tahun 1980-an, dengan bantuan badan intelijen Amerika Serikat, CIA. Setidaknya diketahui CIA membantu mereka 3 milyar dollar ditambah rudal jinjing Stinger buatan Amerika yang banyak digunakan merontokkan heli tempur Uni Soviet.
Dari seluruh dunia, CIA mendatangkan para pejuang muslim – termasuk dari Indonesia – yang kemudian dilatih bertempur untuk menghadapi tentara Uni Soviet. Uni Soviet bisa dikalahkan dan harus menarik mundur pasukan dari Afghanistan. Akibat kekalahan ini, antara lain, Uni Soviet kemudian terpecah-pecah. Dan Amerika Serikat muncul menjadi satu-satunya kekuatan dominan dunia.

Jadi kalau disebutkan Usamah Bin Laden buatan Amerika Serikat, memang begitulah faktanya. Karena CIA-lah yang melatih Usamah dan kawan-kawannya untuk bertempur dan mengenal berbagai jenis bahan peledak yang sekarang menjadi modal mereka dalam gerakan terorisme.

Di dalam House of Bush, House of Saud, Crigh Unger malah mengungkap bahwa keluarga Bin Laden dan keluarga Bush saling kenal dan bersahabat. George Bush atau ayahnya, George H.W.Bush, keduanya adalah mantan Presiden Amerika Serikat.

Selain itu, adalah fakta ketika Feisal Abdul Rauf mengatakan Amerika Serikat mengebom Dresden sehingga banyak orang sipil tak berdosa menjadi korban. Adalah fakta pula Amerika menjatuhkan bom nuklir di Nagasaki dan Hiroshima yang memakan begitu banyak korban penduduk sipil di akhir Perang Dunia II. Padahal tak satu pun dari kota yang disebut di atas merupakan target militer.
Feisal adalah seorang sufi. Sebagai Imam Masjid al-Farah di Manhattan, ia dikenal moderat. Ia punya misi yang terus diperjuangkan secara konsisten: membangun jembatan menghubungkan masyarakat Amerika, masyarakat muslim Amerika, dan masyarakat muslim dunia.

Karena itulah setelah peristiwa 11 September, atas permintaan polisi federal Amerika Serikat, FBI, Feisal melakukan pelatihan kebudayaan terhadap ratusan agen FBI. Tampaknya pelatihan itu untuk memberi pengenalan tentang muslim dan Islam kepada para agen.

Selain itu, Feisal mendapat penugasan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk menjelaskan kondisi ummat Islam Amerika Serikat kepada masyarakat Timur Tengah. Ia sudah beberapa kali mengelilingi Timur Tengah di zaman pemerintahan Presiden George Bush.

Kemudian di zaman Presiden Obama, mulai 20 Agustus lalu, Feisal kembali mengelilingi Timur Tengah. Direncanakan ia menghabiskan waktu sekitar 15 hari berkeliling Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Kunjungan ia mulai dengan memimpin shalat Jumat, 20 Agustus lalu, di sebuah masjid di Manama, ibukota Bahrain. Dalam sebuah acara televisi ia mengatakan bahwa ancaman keamanan terhadap Barat dan dunia muslim adalah ekstremisme. Tapi Feisal tampaknya enggan mendiskusikan penolakan masyarakat Amerika atas rencananya membangun Islamic center di dekat Ground Zero.

Soalnya, penolakan pembangunan masjid di Ground Zero membuktikan masyarakat Amerika Serikat menderita Islamophobia, rasis, dan ekstremisme. Kenyataan itu tentu bertentangan dengan misinya dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. (Amran Nasution)